Rabu, 01 Juli 2020

Subak: Google Indonesia Banget Gitu Lho?

Oleh: Gungde Ariwangsa SH

Membuka google hari ini, Senin (29/6/2020), ada yang menyejukan sekaligus memanaskan hati. Sungguh sejuk melihat Google Doddle yang menyajikan pemandangan sawah  tersusun rapi dengan padi yang menguning dan menghijau. Kemudian ada kawanan burung putih yang terbang melintas. Seorang petani duduk di pondok mengawasi dengan memakai masker. Indonesia banget gitu lho?

Yang memang, itu pemandangan bukan saja begitu akrab bagi masyarakat Indonesia namun juga sudah  merupakan salah satu jati diri negeri ini sebagai negara agraris. Apalagi ketika gambar di klik muncul tulisan “Celebrating Subak”. Merayakan Subak.

Jelas itu memang tentang Indonesia. Tentang sistem pengairan persawahan yang sudah melegenda dan diakui dunia internasional. Menurut wikipidia, Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah (irigasi) yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali, Indonesia. Sistem irigasi ini juga memungkinkan koordinasi antar petani yang dikenal sebagai sistem organisasi subak yang diatur oleh seorang pemuka adat (Pekaseh) yang juga adalah seorang petani di Bali.

Organisasi tersebut adalah sebuah organisasi demokratis; para petani yang memanfaatkan sumber air yang sama, bertemu secara teratur untuk bermusyawarah dan mengkoordinasikan penanaman, mengontrol distribusi air irigasi, merencanakan pembangunan, pemeliharaan kanal dan bendungan serta mengatur upacara persembahan dan perayaan di Pura Subak yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul. Pura tersebut diperuntukkan bagi Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran dan kesuburan menurut kepercayaan masyarakat Bali. 

Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan peneliti lain seperti J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini. 

Tepat tanggal 29 Juni tahun 2012, UNESCO mengakui Lanskap kultur Provinsi Bali yang dipengaruhi oleh subak sebagai Situs Warisan Dunia, pada sidang pertama yang berlangsung di Saint Petersburg, Rusia. Perjuangan Subak menjadi warisan dunia dilakukan setelah melalui proses panjang yatu 12 tahun dan dunia ikut bangga kepada Indonesia. 

Pada tahun 2017 subak terangkat lagi. Kala itu mantan Presiden AS, Barrack Obama mengunjungi  subak Jatiluwih. Obama dan rombongan menyusuri jalur trekking Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, Bali, selama 1,5 jam.

Kearifan yang bukan saja mencerminkan tentang irigasi sawah untuk memproduksi bahan pangan beras yang amat dibutuhkan manusia.  Subak bukan sakadar urusan sawah dan beras. Dari sana juga terwujud roh tentang menjaga hubungan yang harmonis antarsesama manusia dengan semangat gotong royong mengelola sawah (alam), harmonisasi manusia dengan alam dan penghargaan manusia terhadap Sang Pencipta. Nilai agama Hindu termasuk Tri Hita Karana (falsafah hidup harmonis antara Tuhan, manusia, dan alam) terdapat dalam subak.

Kebanggaan dunia terhadap Indonesia itu diangkat kembali oleh Google dengan memuat Google Doodle, Celebrating Subak, Senin (29/6/2020). Memperingati warisan budaya Indonesia bernama Subak. Perhatian Google itu dihiasi dengan  ilustrasi yang dibuat ilustrator Tanah Air, Hana Augustine.

Sungguh menyejukan apa yang disajikan Google. Bukan saja dengan pilihan ilustrasinya yang menyejukan namun juga makna penghargaan itu.  Dengan kaliber Google maka ini mempresentasikan kebanggaan dunia terhadap kearifan lokal Indonesia.

Di balik sajian Google itu ada juga rasa panas di hati. Panas karena di negeri sendiri seperti tidak peduli lagi kepada kearifan lokal ini. Cermin menurunnya kebanggaan bangsa ini terhadap kearifan miliknya sendiri. 

Padahal, para pemimpin Indonesia selalu berteriak tentang perlunya menghargai produksi dalam negeri. Teriakan sebagai pengejawantahan penghargaan terhadap hasil karya bangsa sendiri sebagai cermin dari kearifan lokal. Namun teriakan itu hanya di bibir saja karena kenyataannya tidak terealisasikan di lapangan. 

Jadi jangan heran. Di saat pandemic virus corona (Covid-19), semua berteriak tentang gotong royong, ketahanan pangan dan keagungan Tuhan, menghargai kearifan lokal subak yang sudah mendunia itu para pemimpin negeri tidak terketuk. Justru kegaduhanlah yang ditampilkan. Maka Google  bukan saja menjadi penyedia layanan tempat mencari berita namun juga sebagai  pemandu tentang pentingnya menghargai kearifan lokal bangsa ini. Google telah mengetuk hati dan kejujuran kita. Terima kasih Google. ***

* Gungde Ariawangsa SH – wartawan suarakarya.id, pemegang Kartu UKW Utama, Ketua Siwo PWI Pusat
 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG LEBIH LAMA