Oleh: Gungde
Ariwangsa
Bersyukurlah,
dalam kondisi perpolitikan yang panas menunggu pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres)
Tahun 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Indonesia masih aman-aman saja.
Secara nyata tidak ada gesekan apalagi bentrokan antara pendukung pasangan
calon presiden dan wakil presiden. Padahal paslon 01 Jokow Widodo – Ma’ruf Amin
dan duet 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno sudah saling mengkalim
kemenangan. Namun dalam dunia maya
kondisinya berbeda 360 derajat.
Pada dunia tidak
kasat mata Indonesia sebenarnya sudah berada dalam kondisi perang. Serunya
peperangan di dunia maya bisa dirasakan melalui kemajuan teknologi informasi
yang bernama internet. Kedua kubu sudah saling serang dengan panas dan ganas. Saling tuduh dan fitnah
tak mampu dibendung lagi. Tiap hari -
bahkan detik, menit, dan jam -, berseliweran senjata-senjata berupa kata dan kalimat serta
foto yang menusuk serta mematikan lawan.
Satu sama lain mengaku paling benar. Sampai-sampai ada yang
memproklamirkan diri paling benar dan jujur. Tidak terelakan saling tuding
melakukan kecurangan dan kebohongan terus berlangsung. Kondisi yang sangat
mengkhawatirkan karena sepertinya bangsa ini hanya diisi oleh para pembohong,
pembuat curang dan pendusta.
Dalil-dalil pembenar
sudah tidak mampu mengatasi itu. Masyarakat kini cendrung untuk lebih
mencari hal-hal yang berbau kecurangan. Permainan dan trik-trik kecurangan
lebih menarik untuk dinikmati dan kemudian diomongkan dan didiskusikan.
Markas KPU tidak ketinggalan diserang. Ada upaya untuk menghack website sistem
hitung real count KPU itu. Tentunya untuk mengotak-atik perolehan suara demi
keuntungan kubu masing-masing.
Di pihak lain ada juga yang berusaha mengamankan situng KPU
itu. Beberapa ahli teknologi informasi dikerahkan untuk membentengi situng.
KPU sendiri juga
menyatakan kebal terhadap serangan-serangan dari luar. Sejauh mana
kebenarannya masih terus menjadi tanda tanya. Pasalnya ada yang menemukan,
situng tidak benar-benar kebal. Terlacak
ada aliran dari titik tertentu yang mengalir ke KPU dengan tujuan tertentu.
Dalam
mempertahankan diri dari berbagai gempuran itu KPU beberapa kali melakukan
kekeliruan pencatatan suara. Alasannya karena salah input. Jelas ini bukan saja
menimbulkan pertanyaan besar tetapi juga makin menyurutkan kepercayaan terhadap
kinerja KPU.
Apalagi
sebelumnya sempat beredar hasil Pilpres yang didasarkan pada laporan berbagai
pihak meskipun tidak resmi namun dipercaya cukup fair. Ada laporan perhitungan
hasil Pilpres dari Babinsa, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi, Partai Demokrat dan juga beberapa ahli IT yang
menuangkannya dalam situs judil. KPU tampak seperti terpukul. Langkah yang
tidak sesuai dengan iklim demokrasi pun dilakukan. Situs tersebut dicabut alias
dibredel.
Tentu itu makin melunturkan kepercayaan terhadap KPU. Klaim
paling benar makin mencuat. Perang di dunia maya pun bertambah memanas. Masing-masing
kubu memperkuat perhitungannya dengan menganggap KPU sebagai angin lalu karena
ada kecurigaan anginnya sudah menunju ke satu arah.
Peperangan dunia
maya dimensi lain juga mulai mencuat. Ini sering dengan terus
bertambahnya petugas pemungutan suara yang meninggal dunia. Sudah ratusan orang
yang meninggal. Kejadian ini menimbulkan spekulasi sudah terjadi serangan ilmu
hitam yang membutuhkan darah.
Percaya atau tidak? Semua berpulang pada pihak yang menerima
hal itu. Namun yang jelas itu sudah mencerminkan adanya saling serang. Suatu
peperangan yang belum saja meledak ke dunia nyata. Lama-lama kelamaan hal ini
bisa merembet ke dunia nyata mengingat masing-masing kubu yang bertarung masih
terus memanaskan situasi. Bukan sebaliknya berusaha menahan diri untuk
mengademkan suasana.
Penarikan pasukan oleh Polri ke Jakarta juga menimbulkan anggapan suasana
genting akan adanya perang. Seruan melakukan people power juga menjadi bentuk
perlawanan. Kemudian kini di-mana muncul gerakan masyarakat yang
memproklamirkan terpilihnya Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Poster-poster
Prabowo – Sandi sebagai pemimpin baru bermunculan. Ketika aparat berusaha
menurunkannya, masyarakat justru ngotot mempertahankannya. Gambaran adanya
upaya menyerang dan membela diri. Jika kondisi makin memanas bukan tidak
mungkin ini akan meletus menjadi bentrokan.
Penyebutan
suasana perang bisa saja dianggap sebagai berlebihan. Namun yang jelas
kengototan masing-masing kubu sudah membuat masyarakat terbelah. Kalau pun tidak mau disebut perang bisa diturunkan
menjadi perang dingin atau pun seperti api dalam sekam. Semoga apinya bisa
dipadamkan sebelum meledak ke permukaan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar