Oleh: Gungde Ariwangsa
Rakyat Indonesia
memang luar biasa. Semua tetap mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sehingga masa kampanye
pemilihan umum (Pemilu) 2019 bisa
dilalui dengan aman dan damai. Mampukah kondisi kondusif ini dipertahankan saat
maupun setelah hari pemilihan Rabu, 17 April mendatang, terlepas dari siapa pun
yang terpilih dan menang? Hasil pertarungan akhir antara yang terketuk dan yang
terkutuk akan menentukan.
Perjalanan panjang dan melelahkan serta tentunya memanas
pada masa kampanye mulai 23 September 2018 hingga 13 April 2018 menjadi ujian
kedewasaan rakyat Indonesia dalam berkiprah di perhelatan politik. Memang
sempat ada kejadian-kejadian meresahkan namun itu terbilang kecil sehingga
tidak mampu membawa gejolak secara nasional. Padahal, setiap kampanye hampir
selalu menghadirkan ribuan massa.
Kemudian tiada henti-hentinya isu berbau suku, ras, agama dan antargolongan
(SARA) menerpa dari para provokator baik secara langsung maupun melalui hoax.
Tampaknya masyarakat Indonesia sudah tidak mau
mempedulikan lagi ocehan para provokator secara langsung maupun lewat tulisan
di media sosial. Atau masyarakat sudah
mulai dewasa untuk memilah-milah mana yang benar dan mana yang bohong belaka. Pengalaman
selama lima
tahun ini telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap media sosial atau
media lainnya yang berpihak, apalgi terhadap yang tidak jelas jatidirinya.
Masyarakat ingin fakta yang ada sehingga berpatokan pada apa yang sebenarnya
terjadi di lapangan dan dialami dalam kehidupan yang dilakoni setiap detik,
jam, hari, minggu, bulan dan tahun.
Masyarakat yang masuk
kelompok ini terketuk oleh panggilan hatinya mengikuti rangkaian Pemilu 2019
yang menyatukan pemilihan anggota leheslatif dan presiden (Pileg dan Pilpres).
Dengan harapan untuk mendapatkan keadaan dan kehidupan yang lebih baik lalu
mereka memilih calon presiden/wakil presiden dan partai politik yang bisa
memperjuangkan aspirasinya. Memang ada pengaruh dari pendekatan caleg dan
capres/cawapres tetapi pilihan kelompok ini tetap berdasarkan pada pilihan
hatinya.
Tidak terpengaruh oleh janji-janji maupun iming-iming
lainnya. Tidak pula terpengaruh oleh penampilan penuh pencitraan para caleg
atau capres/cawapres. Ketukan panggilan hati telah membawa kelompok ini mau
menghadiri rangkain kampenye dengan keinginan dan aspirasi pilihannya hatinya.
Keteguhan untuk melakukan perbaikan menggerakkan mereka.
Pilihan kelompok yang terketuk untuk membawa Indonesia
lebih baik ini tidak tergoyahkan oleh iming-iming, rayuan maupun tekanan.
Mereka memilih dengan keteguhan hati memilih calon yang memang diyakini untuk
membawa Indonesia
kepada kondisi lebih baik.
Tawaran untuk membawa Indonesia lebih baik pasti
dihadirkan oleh para calon yang bersaing. Baik itu yang masuk koalisi pendukung
capres/cawapres nomor urut 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin maupun paslon
capres/cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno. Para
pemilih yang terketuk untuk membawa Indonesia lebih baik bisa saja
tetap percaya pada 01 atau malah ke 02.
Saingan dari rakyat terketuk itu tentunya mereka yang hadir
dalam Pemilu 2019 ini dengan menerapkan dan memaksakan cara terkutuk. Mereka
mengikuti rangkaian Pileg dan Pilpres 2019 ini dengan menghalalkan segala cara.
Maka munculah kejadian tentang penekan, pemaksaan, permainan politik uang
melalui strategi amplop serangan fajar dan lebih parah lagi menerapkan
kecurangan dalam pemilihan.
Langkah-langkah golongan terkutuk ini sangat jauh dari
tujuan rasa persatuan. Apalagi untuk membuat Indonesia lebih. Pasalnya mereka
lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Melihat orang berbeda dengan pilihannya maka golongan ini
akan langsung mengambil jarak. Jadilah kawan menjadi lawan dan yang semula lawan
bisa menjadi kawan karena sama-sama terkutuk. Mereka menyingkirkan orang yang
berbeda pilihan. Seakan lupa daratan dan
tidak memperhatikan keadaan bahwa setelah Pemilu nanti yang terpenting adalah
pergaulan dan persahabatan.
Penampilan mereka penuh kamuflase. Seolah bersifat baik
namun isi dan ketukan hatinya bertolak belakang. Berbagai cara dilakukan untuk
menunjukkan sosok yang ideal dan penuh dengan ketulusan, kejujuran, dan
keiklasan. Padahal sesungguhnya dia serigala brbulu domba.
Berucap untuk mensejahterakan rakyat namun dalam hati untuk
memperkaya diri sendiri dan kelompok. Berkoar soal persatuan namun dalam hati
memecah belah rakyat. Berteriak anti korupsi namun dalam hati ingin mengeruk
kekayaan negara untuk diri sendiri dan kelompoknya.
Cara-cara orang terkutuk ini sangat berbahaya. Mereka tidak
peduli oleh tenggang rasa untuk
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak mau tahu apakah Indonesia
akan menjadi lebih baik atau hancur. Yang penting mereka dan kelompoknya happy
sesaat, saat ini. Bukan happy ending untuk masa depan bangsa. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar