Oleh: Gungde Ariwangsa SH
Tanggal 21 Mei 1998
menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada tanggal itulah
terjadi peralihan kekuasaan setelah didahului oleh perjuangan tidak kenal lelah
dari para pejuang penuntut perubahan. Beralihnya kekuasan itu disambut
dengan gegap gempita untuk menyambut hadirnya era reformasi. Setelah 20 tahun bergulir, sudahkah cita-cita reformasi mencapai tujuannya?
Seperti
bergulirnya roda kehidupan maka pihak yang kebenaran terangkat ke atas oleh
perjalan reformasi itu tentu akan menyatakan reformasi sudah mencapai
tujuannya. Sedangkan yang masih berada di tengah-tengah perputaran roda, dengan
risiko bisa bergerak naik atau malah turun, akan mengatakan reformasi sudah
mengarah pada tujuannya namun belum sampai pada apa yang ingin dituju. Nah yang
tetap berada di bawah atau malah terlindas oleh pergerakan roda itu, jelas akan
menriakkan reformasi belum mampu menghasilkan perubahan sesuai dengan yang
diperjuangkan.
Dalam peringatan
dua dekade era roformasi pada tanggal 21
Mei 2018 berbagai pihak memberikan penilaian tentang evaluasi reformasi itu. Dari
berbagai pendapat termasuk oleh para aktivis reformasi itu sendiri tergambar,
reformasi msih jauh dari harapan.
Presiden ke-3 RI
Bacharuddin Jusuf Habibie mengatakan reformasi selama 20 tahun memang berjalan
sesuai rencana, tetapi masih jauh untuk mencapai sasarannya sebagai peradaban. Terdapat
tiga hal yang menentukan suatu peradaban menurut BJ Habibie, yakni kebudayaan,
agama, dan kemampuan mengembangkan serta menggerakkan ilmu pengetahuan. Itu
hanya mungkin diperoleh jika proses pembudayaan baik. Ada sinergi budaya dan
agama juga.
Tokoh Reformasi
1998, Amien Rais, mengakui, setelah reformasi masih ada beberapa hal yang belum
tercapai. Dia menyebut penegakan
hukum belum tercapai, pemulihan ekonomi yang makin jauh, dan ketimpangan makin
parah.
Ekonom dan juga mantan Menko Maritim Kabinet Kerja, Rizal Ramli
mengemukakan, setelah sekian lama memasuki era reformasi, masih banyak
pekerjaan rumah yang perlu untuk dituntaskan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
demokrasi di Indonesia. Reformasi menghasilkan transisi dari sistem otoriter ke
sistem demokratis, kebebasan pers dan desentralisasi.
Rizal mengatakan, setelah menempuh sekian puluh tahun era
reformasi, yang dihasilkan malah cenderung
ekonomi neoliberal. Kondisi tersebut semakin menjauhkan Indonesia dari
cita-cita mewujudkan kekuatan demokrasi
yang berlandaskan ekonomi konstitusi.
Rizal
mengingatkan, dalam perjalanan demokrasi Indonesia seperti yang berlangsung
saat ini, cita-cita reformasi harus dituntaskan. Semua harus dilakukan
demi terwujudnya masyarakat yang makmur dan
sejahtera. Reformasi harus dituntaskan agar demokrasi membawa kemakmuran
untuk rakyat.
Pengamat politik dan Ketua Pendiri Nation and Character
Building Institute (NCBI),
Juliaman Saragih, menilai, selama 20 tahun era reformasi, bibit
berpikir liberal mulai ditanamkan bagi kepentingan sebagian kecil anak bangsa. Seolah-olah, liberalisasi pun menjadi
tuntutan sejarah reformasi sebelum persatuan
dan kesatuan merasuk. Inilah salah satu catatan hitam 20 tahun reformasi
Indonesia.
Aktivis 98,
Taufik Basari mengatakan, saat ini telah ada perubahan lebih baik pada aspek
penegakan hukum, namun memang belum optimal. Belum optimalnya aspek penegakan
terbukti dari masih banyaknya mafia peradilan, mafia tanah, hingga korupsi. Indonesia
turun peringkat dalam Indeks Persepsi
Korupsi dan Transparency International, menjadi urutan 96 dari sebelumnya
peringkat 90 di tahun 2016.
Bachtiar Firdaus,
Aktivis Gerakan Anti Korupsi (GAK) dan Ketua BEM UI 1999/2000, menyampaikan, hal
itu dikarenakan belum ada reformasi
penegakan hukum yang komprehensif untuk menghadapi kasus-kasus, semisal
korupsi, yang bersifat TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif).
Sedangkan Donny
Ardianto, dari YLBHI, mengungkapkan, aspek penegakan hukum di Indonesia masih
belum optimal dikarenakan aparaturnya pun melakukan tindak pidana korupsi,
mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim. Publik pun lebih percaya kepada lembaga
ad hoc, yaitu KPK, dalam hal pemberantasan korupsi, bukan kepada polisi.
Ketua MPR RI,
Zulkifli Hasan menilai pencapaian cita-cita reformasi setelah 20 tahun berlalu
masih jauh dari harapan, baik dari sisi hukum, ekonomi, maupun politik. Salah
satu bentuk kegagalan reformasi adalah munculnya ketidakpercayaan sosial (social distrust) akhir-akhir ini. Fenomena sosial itu bisa muncul karena
langkah pemerintah yang kontroversial. Kalau bicara reformasi, masih jauh panggang
dari api.
Masih sangat
berat perjuangan menegakan reformasi dalam segala bidang demi tercapainya
tujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi
mewujudkan cita-cita reformasi itu tentunya perlu mewaspadai muncul dan
tumbuhnya para pengkhianat reformasi yang ingin kembali memunculkan kekuasaan
absolut dengan menekan kembali kebebasan rakyat dan menggerogoti demokrasi yang
sudah tumbuh.
Dalam penegakan
hukum, para pengkhianat reformasi akan tetap berusaha mempermainkan hukum
sehingga memunculkan tebang pilih dalam
penegakan hukum. Pemulihan ekonomi yang masih jauh dan makin parahnya
ketimpangan sosial tidak terlepas dari ulah para pengkhianat reformasi yang
memanfaatkan kebebasan untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompok sehingga
mengabaikan bahkan membunuh hak rakyat untuk menikmati hidup berkemakmuran.
Para penkhianat
reformasi ini bila dibiarkan membesar dan menguat maka cita-cita reformasi
bukan saja makin mejauh namun juga akan mengalami kegagalan total. Bila ini
sampai terjadi maka semua kembali akan menyalahkan masa lalu. Dosa masa kini
dilemparkan ke masa lalu. Tidak berani mengakui kegagalan juga termasuk
pengkhianatan reformasi. ***
- Gungde Ariwangsa SH – e-mail: aagwaa@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar