Selasa, 22 Mei 2018

Pengkhianat Reformasi



Oleh: Gungde Ariwangsa SH

Tanggal 21 Mei 1998 menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada tanggal itulah terjadi peralihan kekuasaan setelah didahului oleh perjuangan tidak kenal lelah dari para pejuang penuntut perubahan. Beralihnya kekuasan itu disambut dengan gegap gempita untuk menyambut hadirnya  era reformasi. Setelah  20 tahun bergulir, sudahkah  cita-cita reformasi mencapai tujuannya?

Seperti bergulirnya roda kehidupan maka pihak yang kebenaran terangkat ke atas oleh perjalan reformasi itu tentu akan menyatakan reformasi sudah mencapai tujuannya. Sedangkan yang masih berada di tengah-tengah perputaran roda, dengan risiko bisa bergerak naik atau malah turun, akan mengatakan reformasi sudah mengarah pada tujuannya namun belum sampai pada apa yang ingin dituju. Nah yang tetap berada di bawah atau malah terlindas oleh pergerakan roda itu, jelas akan menriakkan reformasi belum mampu menghasilkan perubahan sesuai dengan yang diperjuangkan.

Dalam peringatan dua dekade  era roformasi pada tanggal 21 Mei 2018 berbagai pihak memberikan penilaian tentang evaluasi reformasi itu. Dari berbagai pendapat termasuk oleh para aktivis reformasi itu sendiri tergambar, reformasi msih jauh dari harapan.

Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie mengatakan reformasi selama 20 tahun memang berjalan sesuai rencana, tetapi masih jauh untuk mencapai sasarannya sebagai peradaban. Terdapat tiga hal yang menentukan suatu peradaban menurut BJ Habibie, yakni kebudayaan, agama, dan kemampuan mengembangkan serta menggerakkan ilmu pengetahuan. Itu hanya mungkin diperoleh jika proses pembudayaan baik. Ada sinergi budaya dan agama juga.

Tokoh Reformasi 1998, Amien Rais, mengakui, setelah reformasi masih ada beberapa hal yang belum tercapai. Dia menyebut  penegakan hukum belum tercapai, pemulihan ekonomi yang makin jauh, dan ketimpangan makin parah.

Ekonom dan juga mantan Menko Maritim Kabinet Kerja, Rizal Ramli mengemukakan, setelah sekian lama memasuki era reformasi, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu untuk dituntaskan untuk meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Reformasi menghasilkan transisi dari sistem otoriter ke sistem demokratis, kebebasan pers dan desentralisasi.

Rizal mengatakan, setelah menempuh sekian puluh tahun era reformasi, yang dihasilkan malah cenderung  ekonomi neoliberal. Kondisi tersebut semakin menjauhkan Indonesia dari cita-cita mewujudkan kekuatan  demokrasi yang berlandaskan ekonomi konstitusi.

Rizal mengingatkan, dalam perjalanan demokrasi Indonesia seperti yang berlangsung saat ini, cita-cita reformasi harus dituntaskan. Semua harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat yang makmur dan  sejahtera. Reformasi harus dituntaskan agar demokrasi membawa kemakmuran untuk rakyat.

Pengamat politik dan Ketua Pendiri Nation and Character Building Institute (NCBI),
Juliaman Saragih, menilai, selama 20 tahun era reformasi, bibit berpikir liberal mulai ditanamkan bagi kepentingan sebagian kecil anak bangsa. Seolah-olah, liberalisasi pun menjadi tuntutan sejarah reformasi sebelum persatuan  dan kesatuan merasuk. Inilah salah satu catatan hitam 20 tahun reformasi Indonesia.

Aktivis 98, Taufik Basari mengatakan, saat ini telah ada perubahan lebih baik pada aspek penegakan hukum, namun memang belum optimal. Belum optimalnya aspek penegakan terbukti dari masih banyaknya mafia peradilan, mafia tanah, hingga korupsi. Indonesia  turun peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi dan Transparency International, menjadi urutan 96 dari sebelumnya peringkat 90 di tahun 2016.

Bachtiar Firdaus, Aktivis Gerakan Anti Korupsi (GAK) dan Ketua BEM UI 1999/2000, menyampaikan, hal itu  dikarenakan belum ada reformasi penegakan hukum yang komprehensif untuk menghadapi kasus-kasus, semisal korupsi, yang bersifat TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif).  

Sedangkan Donny Ardianto, dari YLBHI, mengungkapkan, aspek penegakan hukum di Indonesia masih belum optimal dikarenakan aparaturnya pun melakukan tindak pidana korupsi, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim. Publik pun lebih percaya kepada lembaga ad hoc, yaitu KPK, dalam hal pemberantasan korupsi, bukan kepada polisi.

Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan menilai pencapaian cita-cita reformasi setelah 20 tahun berlalu masih jauh dari harapan, baik dari sisi hukum, ekonomi, maupun politik. Salah satu bentuk kegagalan reformasi adalah munculnya ketidakpercayaan sosial  (social distrust) akhir-akhir ini. Fenomena sosial itu bisa muncul karena langkah  pemerintah yang kontroversial.  Kalau bicara reformasi, masih jauh panggang dari api.

Masih sangat berat perjuangan menegakan reformasi dalam segala bidang demi tercapainya tujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi mewujudkan cita-cita reformasi itu tentunya perlu mewaspadai muncul dan tumbuhnya para pengkhianat reformasi yang ingin kembali memunculkan kekuasaan absolut dengan menekan kembali kebebasan rakyat dan menggerogoti demokrasi yang sudah tumbuh.

Dalam penegakan hukum, para pengkhianat reformasi akan tetap berusaha mempermainkan hukum sehingga memunculkan  tebang pilih dalam penegakan hukum. Pemulihan ekonomi yang masih jauh dan makin parahnya ketimpangan sosial tidak terlepas dari ulah para pengkhianat reformasi yang memanfaatkan kebebasan untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompok sehingga mengabaikan bahkan membunuh hak rakyat untuk menikmati hidup berkemakmuran.  

Para penkhianat reformasi ini bila dibiarkan membesar dan menguat maka cita-cita reformasi bukan saja makin mejauh namun juga akan mengalami kegagalan total. Bila ini sampai terjadi maka semua kembali akan menyalahkan masa lalu. Dosa masa kini dilemparkan ke masa lalu. Tidak berani mengakui kegagalan juga termasuk pengkhianatan reformasi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG LEBIH LAMA