Minggu, 07 Maret 2021

Kudeta Partai Demokrat, Menanti Sabda Pandita Ratu

 


Oleh: Gungde Ariwangsa SH

“Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali.” Falsafah  pemerintahan Jawa yang artinya “sabda raja dan pemuka agama tidak boleh plin-plan” sangat dinantikan sehubungan dengan perpecahan yang menimpa Partai Demokrat (PD). Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang ditunggu-tunggu karena orang dekatnya, Kepala Staf Presiden Moeldoko ikut terlibat dalam terbelahnya PD.

 

Bahkan Moeldoko yang masih aktif di pemerintahan didaulat sebagai Ketua Umum PD dalam Kongres Luar Biasa PD di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3/2021). Pemilihan dan pengangkatan Moeldoko itu membuat PD kini memiliki dua nakhoda karena masih ada Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum yang sah. Kondisi makin memanas karena Moeldoko yang Jenderal TNI (Purn) dinilai telah mengkudeta mayor AHY dalam kepemimpinan partai berlambang tiga bintang bersinar itu.

Meskipun persaingan kubu PD KLB dan PD AHY makin memanas dan meluas dengan berbagai penafsiran, termasuk kemungkinan pemerintah berada di belakang aksi Moeldoko itu, namun Presiden Jokowi masih tetap diam. Sudah dua hari berlalu belum diketahui sikap Jokowi. Selain Jokowi, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang nanti akan banyak berperan dan menentukan sah tidaknya KLB PD itu juga bungkam. 

Baru Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang memberi pernyataan. Mahfud MD menyatakan pemerintah hingga saat ini belum menyatakan KLB Partai Demokrat termasuk hasilnya. Pasalnya, hingga saat ini pemerintah belum menerima pemberitahuan resmi mengenai kegiatan KLB dan kepengurusan barunya. Karena itu, menurut Mahfud, pemerintah masih menganggap kepengurusan PD tetap di bawah kepemimpinan AHY. Kalau ada laporan dari KLB itu baru  pemerintah akan mengambil sikap. 

Mahfud mengaku, seperti dilansir MI, pemerintah memang sulit bersikap kalau konflik internal di dalam partai politik. Apalagi kasus konflik internal di Partai Demokrat ini pernah terjadi di partai lainnya selama era Reformasi. Ada kasus PKB di zaman Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akhirnya diserahkan ke pengadilan. 

Menarik untuk terus diamati kasus perpecahan PD itu ke mana akan bergulir dan bermuara. Apakah cukup sampai pada butuhnya dukungan solid seluruh partai pada pemerintahan Jokowi? Ataukah ini merupakan agenda untuk pertarungan Pemilihan Presiden tahun 2024? Kemudian benarkah ini karena luapan ketidakpuasan masa lalu? Intinya sangat dinantikan apakah ini setingan atau murni gejolak internal antarkader PD sendiri. 

Dalam kondisi itu ada yang berharap Presiden Jokowi bersabda. Tidak boleh ada pembiaran oleh pihak Istana. Namun jika tetap diam maka Presiden Jokowi bisa dinilai menyetujui langkah Moeldoko mengkudeta AHY di PD. 

Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Wijayanto mengatakan, konflik yang menimpa PD  bukan hal baru di masa pemerintahan Jokowi. Sebab, Partai Golkar dan PPP juga sebelumnya mengalami hal yang sama dan berakhir serupa, yaitu kemenangan bagi kubu yang dekat dengan kekuasaan.

Wijayanto seperti dikutip dari kompas.com, menuturkan, mustahil jika Jokowi tidak mengetahui apa yang telah dilakukan bawahannya, tetapi tetap membiarkannya. Moeldoko ini bukan hanya dekat, tetapi bagian dari istana. Jadi  Jokowi tidak mungkin tidak tahu apa yang dilakukan bawahannya. Kalau dalam budaya Jawa, membiarkan kan berarti mengizinkan.

Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, Presiden Jokowi harus bicara soal kisruh PD  yang melibatkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Jangan sampai Pak Jokowi tidak menangkap, mempertimbangkan kisruh yang ada di Demokrat ini secara seksama. 

Siti Zuhro menuturkan, keterlibatan Moeldoko dalam kisruh Partai Demokrat tidak bisa dilepaskan dari profil sebagai salah satu orang di lingkaran terdekat Jokowi. Menurut Siti Zuhro, manuver Moeldoko itu itu akan mempertaruhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, pihak Istana, maupun Jokowi sendiri. Ia menegaskan, keterlibatan pejabat aktif pemerintahan dalam konflik yang tengah mendera sebuah partai merupakan tindakan yang tidak etis. 

Oleh sebab itu, seperti dilaporkan kompas.com, Siti Zuhro menilai, dalam isu ini, Jokowi harus angkat bicara dan tidak bisa diam begitu saja. Ini yang harus diambil langkah hati-hati dan tangkas oleh Pak Jokowi. Kali ini Jokowi  harus merespon dan tidak bisa mendiamkan, tidak perlu merespon dan sebagainya. 

Dalam hal merespon, Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan matang dan hati-hati. Sebagai pimpinan pemerintahan dan negara, Jokowi jangan sampai nanti mencla-mencle. Tidak seperti pernyataan Moeldoko sebelumnya yang membantah melakukan kudeta di PD. Namun nyatanya Moeldoko hadir dalam KLB PD dan setuju dipilih menjadi Ketua Umum.

Pernyataan Jokowi dalam falsafah pemerintahan Jawa merupakan sabta pandita ratu. Sabda yang tidak tidak boleh plin-plan. Tetapi kuat dan meneduhkan.  ***

Gungde Ariwangsa SH – wartawan suarakarya.id, pemegang kartu UKW Utama, Ketua Siwo PWI Pusat. E-mail: aagwaa@yahoo.com. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG LEBIH LAMA