Kamis, 03 Mei 2018

Buruh Dan Politik

Oleh: Gungde Ariwangsa SH
 
Peringatan Hari Buruh Internasional, May Day, 1 Mei,  di Indonesia hampir dapat dikatakan berlangsung aman dan tertib. Memang ada bentrokan di Yogyakarta namun tidak sampai meluas dan berlarut-larut. Intinya, kaum buruh yang masih tertindas tidaklah berlaku beringas dalam menyampaikan tututan dan aspirasinya.

  
Meskipun melibatkan ribuan bahkan jutaan orang di seluruh Indonesia namun aksi turun ke jalan kaum pekerja ini tidak menimbulkan anarkisme. Apalagi sampai memancing turunnya aparat untuk melakukan tembakan gas air mata, peluru karet atau pun peluru benaran. Selain aman, bisa dibilang Hari Buruh kali ini, juga penuh dengan variasi.
  
Namanya juga Hari Buruh pasti ada aspirasi yang disampaikan. Terutama menyangkut kesejahteraan dan kebutuhan hidup lainnya. Apalagi di Indonesia kaum buruh yang belum mendapatkan upah yang memenuhi kebutuhan hidup layak. UMP yang ditetapkan di berbagai provinsi belum bisa membuat kaum buruh hidup layak. Makin tidak layak lagi bila dikaitkan dengan beban hidup yang makin berat setelah naiknya tariff listik dan harga-harga bahan pokok.

Selain tututan hapus upah buruh murah, para buruh dalam tuntutan Tritura Plus juga menyampaikan turunkan harga beras, listrik dan bahan bakar minyak (BBM) untuk membangun ketahanan pangan dan ketahanan energi. Lalu meminta cabut PP nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan, serta menolak Tenaga Kerja Asing (TKA) terutama buruh kasar dari China.

Variasi lainnya yang membuat Hari Buruh kali ini menghangat tentunya ada dekalrasi dukungan kepada salah satu calon presiden untuk Pilpres tahun 2019 mendatang. Manuver ini tentu saja membuat hangat suasana karena saat ini Indonesia tengah memasuki tahun politik. Kebetulan lagi deklarasi itu diberikan kepada Ketua Partai Gerindra Parbowo Subianto sebagai capres tahun 2019.

Dukungan inilah yang membuat kerepotan pada Hari Buruh kali ini. Yang repot jelas para pendukung capres lainnya. Mulailah ada komentar yang menyayangkan kenapa Hari Buruh ini harus diisi dengan kegitan politik praktis dukung mendukung capres. Banyak politisi dan pihak lainnya  kebakaran jenggot tentang deklarasi mendukung Prabowo yang dideklarasikan kaum buruh di Istora Senayan, Jakarta. Salah satu venue bertaraf internasional yang merupakan kebanggaan Indonesia di Komplek Olahraga Gelora Bung Karno.

Tentu aneh melihat kebakaran jenggotnya mereka yang mengecam deklarasi kaum buruh tersebut. Mereka seperti lupa pada arti politik itu. Politisi apalagi yang duduk di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedikitnya memahami politik menurut filsuf Atistoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Berdasarkan terori klasik ini maka buruh sebagai warga negara mempunyai hak untuk berpolitik. Berhak menyampaikan aspirasi politiknya.

Selain itu pernahkah para politisi itu melihat ke negara-negara lain bagaimana perjuangan kaum buruh dalam berpolitik? Dulu ada gerakan buruh pelabuhan di Polandia yang begitu heroik memperjuang kebebasan dan keterbukaan. Kemudian di banyak negara Partai Buruh berkibar memegang kekuasaan.

Apakah di negara ini yang tengah memasuki tahun politik, urusan politik itu hanya menjadi hak dari kaum politisi. Hak dari partai politik saja? Sehingga mereka melalui partai politiknya bermanuver ke sana ke mari, hari demi hari, membuat koalisi, membongkar koalisi untuk dukung mendukung capres? Bernahkah itu untuk kepentingan bersama? Demi kepentingan rakyat yang nyatanya saat ini beban hidupnya bukan membaik namun bertambah berat dan pahit?

Deklarasi politik kaum buruh pada Hari Buruh kali ini seharusnya tidak ditanggapi secara sinis apalagi apreori. Selain itu merupakan hak dari warga negara di negara hukum yang mengaku demokratis di era reformasi ini, siapa pun bisa mengungkapkan pandangan politiknya secara bebas dan terbuka asal disampaikan dengan tertib dan tidak anarkis. Rasanya penyampaian kaum buruh itu sudah  tenang. Jadi jangan dikekang seperti masa lalu sehingga mereka harus melakukannya dengan bringas dan anarkis.

Kaum politisi yang merasa berjuang untuk rakyat seharusnya menjadikan tuntutan dan deklarasi kaum buruh itu sebagai cermin diri. Kenapa justru kaum buruh yang berteriak untuk kepentingan rakyat. Kaum buruh sebagai rakyat berteriak untuk rakyat. Suatu ironi di negara reformasi yang diisi politisi atau politikus dengan janji-janji muluk di saat kampanye saja.

Mengecam langkah kaum buruh dalam menyampaikan aspirasi politiknya sama saja dengan mengingkari kebebasan itu sendiri. Mengingkarai hak warga negara dalam urusan meraih kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi buruh yang memang perlu berpolitik sehingga tahu  seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan demi perbaikan kehidupan kaumnya dan rakyatnya. ***
  • Gungde Ariwangsa SH – wartawan suarakarya.id dan Ketua Harian Siwo PWI Pusat, e-mail: aagwaa@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG LEBIH LAMA